Untuk memahami interpretasi saya atas sejumlah dampak perang Juni 1967, lihat artikel saya hari ini bertajuk, "What If: Fifty Years After the Six-Day War."
Terkait dengan catatan pribadi, saya punya tiga kenangan dari enam hari itu, yang saya alami pada usia 17 tahun di Cambridge, Massachusetts.
Kenangan pertama, ketika saya menonton televisi pada rembang petang hari perang meledak pecah, 5 Juni 1967. Usai menonton televisi saya berangkat tidur dengan pikirkan bahwa pesawat temput Mesir telah membom Tel Aviv dan bahwa Negara Yahudi berada dalam bahaya yang mengerikan. Pemikiran itu melintas karena kata-kata, Middle East Record: 1967 yang sangat otoritatif. Jurnal itu mengatakan, "Akibat kurangnya informasi yang diberikan oleh jurubicara Israel selama hari perama perang, ada banyak sekali berita dari sumber-sumber Arab di pers Barat pada 6 Juni." Baru keesokan harinya saya tahu betapa Angkatan Udara Mesir sudah dihancurkan di tempat. Itu momen unik dari semacam shock serta rasa gembira.
Kenangan kedua, saat saya merayakan hari pelepasan siswa dari Sekolah Commonwealth yang diselenggarakan 8 Juni di tengah kecamuk perang.
Kompleks Sekolah Commonwealth terletak di Boston, Massachusetts. |
Majalah Life, 23 Juni 1967. |
Ketika memberikan sambutan kepada para siswa SMA yang akan tamat, kepala sekolah kami yang sangat liberal, Charles E. Merrill Jr. menggambar perang jahat yang dilakukan Amerika di Vietnam dan perang baik yang dilancarkan Israel. Saat itu, bagi saya, kisah itu menyimbolkan bagaimana, Israel mengarah ke kiri, namun kembali sebelum Tepi Barat menjadi persoalan utama. Bagi bagian dunia yang lain, sampul depan Majalah Life, 23 Juni 1967 mengungkapkan kegembiraan kaum liberal yang sama namun sayup-sayup.
Kenangan ketiga, pada saat ulang tahun setengah abad perang yang dirayakan Israel. Acara itu tidak memusatkan perhatian pada upaya untuk menaklukan tiga musuh yang luar biasa rekornya atau pendudukan kawasan lain atau membangun batas negara yang lebih bisa dipertahankan, tetapi pada reunifikasi Yerusalem. Dari perspektif seseorang yang hidup selama perang berkecamuk, hal itu masuk akal, karena inti emosional dari kemenangan adalah Israel menaklukan Yerusalem timur, bersama tempat suci, sejarah serta simbolismenya.