Sayangnya, rekaman yang diminta teknisi Perayaan Universitas Harvard tidak berhasil dibuat. Saya berterimakasih kepada Saudara Robert Chung karena merekam nyaris seluruh acara dengan telepon pintarnya, kecuali musik pengantar serta pidato pertama yang disampaikan oleh Prof. Evelyn Higgenbotham. Rekaman ini dimulai dengan sambutan selamat datang dari Prof. Rawi Abdelal.
Untuk mengetahui acara perayaan peringatan itu sendiri, klik di sini.
Untuk melihat booklet beserta penghormatan dari sembilan pembicaranya, klik di sini.
Gereja tempat perayaan diselenggarakan di Universitas Harvard, berikut foto Richard Pipes. |
Penghargaan Untuk Mengenang
RICHARD EDGAR PIPES
Professor Emeritus Sejarah
11 Juli 1923 – 17 Mei 2018
Gereja Tempat Perayaan Peringatan
Universitas Harvard
Jumad 21 September 2018
Jam 3 - 5 petang
Evelyn Higginbotham
Jurusan Sejarah Universitas Harvard
Sebagai Ketua Jurusan Sejarah Universitas Harvard, saya menyampaikan sambutan dan berbicara atas nama para kolega ketika saya menyampaikan simpati saya yang mendalam kepada Nyonya Pipes beserta seluruh keluarga Prof. Richard Pipes. Juga ketika saya mengatakan bahwa kami berterimakasih karena bisa mengenang hidupnya bersama anda sekalian hari ini. Hidupnya panjang dan dikenang dengan sangat baik.
Richard Pipes meraih gelar doktornya dalam bidang sejarah pada Universitas Harvard tahun 1950 dan sesudah itu bergabung menjadi staf pengajar Jurusan Sejarah. Di sana, dia menikmati karir yang sangat cemerlang nyaris selama empat dekade. Bagi Richard Pipes, Jurusan Sejarah merupakan rumah sekaligus keluarga akademisnya. Saya katakan ini karena Jurusan Sejarah bisa disamakan dengan garis keturunan keluarga. Dan seperti semua keluarga besar, Jurusan (Sejarah) punya anggota masa lampau dan masa kini dengan minat dan talenta berbeda, dengan identitas rejional yang beragam dan beragam pula afiliasi politik dan nilai budayanya. Namun semuanya mempunyai identitas yang menyatukan yang diteruskan dari generasi ke generasai selama berabad-abad di Harvard.
Richard Pipes adalah cendekiawan besar. Secara mengagumkan ia mengajar, menulis secara luarbiasa dan berbicara dengan penuh pengaruh tentang Sejarah Rusia. Berkat ilmunya dia mencerahkan bukan saja mahasiswa di ruang-ruang kelas serta koleganya di kalangan akademis, tetapi juga para pakar militer, pengamat politik luar negeri bahkan para Presiden Amerika Serikat. Dia belajar sejarah sekaligus menciptakan sejarah pada masa khusus --- Era Perang Dingin ---- dalam masa lalu negeri kita. Dia seorang intelektual publik sejati.
Selama tahun akademis 2018-2019, Jurusan Sejarah Harvard akan memulai sebuah seminar bagi para dosen. Saat itu, mahasiswa dan dosen akan berkumpul bersama mendengarkan pembicara membahas tema "Sejarahwan Sebagai Intelektual Publik." Saya akan pikirkan tentang Richard Pipes setiap kali seminar diselenggarakan.
Jurusan Sejarah mengenang Richard Pipes karena komitmennya terhadap peran sejarahwan. Ia meyakini bahwa sejarahwan harus meninjau masa lalu dan masa datang. Dia menggolongkan studi sejarah sebagai pembahasan tanpa akhir, untuk mengutipnya, "pertanyaan-pertanyaan fundamendal filosofis dan moral."
Saya ingin menutup sambutan dengan mengutip pernyataan kolega saya Michael McCormick yang meminta saya membagikan kenangannya tentang Richard Pipes. Mike adalah salah satu anggota dosen sejarah generasi lebih muda selama tahun-tahun terakhir Richard di Jurusan. Dia mengenang kebaikan Richard atasnya sebagai kolega muda dengan menulis sebagai berikut:
Suatu ketika, segera setelah pensiunnya, kami berjalan-jalan melewati Old Yard bersama-sama, pada suatu sore awal musim gugur. Dia melihat-lihat sekitar, ketika cahaya menerobos memasuki rumah-rumah di Yard, lalu mengeluh dalam diam. Suatu keluhan yang penuh kebahagiaan. Ia kemudian berbalik kepada saya. Matanya tetap menatap rumah-rumah dengan rasa bahagia yang tenang lalu berkata, 'Lihat ini. Bukankah mengagumkan di sini? Saya rasakan itu. Dalam beberapa cara, dia tengah menyampaikan satu keputusan atas hidupnya sendiri. Dan saya sangat tersentuh. Dia mengundang saya untuk bergeser dari persoalan professorial saya yang sibuk, sibuk, sibuk kepada penghargaan yang lebih dalam terhadap suatu momen.
Jurusan Sejarah berterimakasih kepada Richard Pipes dan akan senantiasa mengenang cintanya kepada Universitas Harvard.
Rawi Abdelal
Pusat Kajian Davis
Saya memanggilnya Profesor Pipes. Sebab, itulah dia bagi saya. Saya memang tidak kenal dia. Ini tentu berbeda dari legenda dirinya yang terbangun kuat ketika saya bergabung dalam staf lembaga itu dua puluh tahun silam
Berikut ini kisah tentang legenda itu: Profesor Pipes adalah orang dengan semangat dan keyakinan yang luhur. Orang dengan kemauan dan keyakinan yang sangat luar biasa yang sadari nasib pribadinya. Seorang cendekiawan yang menjadi ikon pengubah bidang studi. Ia juga terlibat langsung dengan dunia yang lebih luas. Sebagai pengarang sekaligus intelektual publik.
Tetapi juga sebagai orang yang mengambil implikasi kebijakan dari karya-karya intelektualnya kemudian berupaya memasukan ide dalam praktek kebijakan. Washington, D.C. penuh dengan kisah cendekiawan yang gagal mengarahkan politik ibukota itu untuk mengejar sebuah pemikiran. Profesor Pipes berhasil memasukannya langsung dalam politik praktis kebijakan yang diperoleh dari ilmunya yang lebih dari cendekiawan lain yang pernah saya dengar.
Saya tidak ingat waktu lain ketika Pusat Penelitian Rusia atau Pusat Kajian Davis mengalami prestasi yang luar biasa di dalam maupun di luar dunia akademis dalam komunitasnya. Bahkan sulit dibayangkan bahwa kita bakal melihat keberhasilan seperti milik dia lagi.
Sampai tahun ini, sudah saya baca semua buku Profesor Pipes, kecuali satu, buku memoarnya. Dan saya ingin membagikan tiga pemikiran seputar apa yang saya pelajari dari mereka.
Pertama, tampaknya Pusat Penelitian Rusia ada baginya pada saat yang penting: "Kami kembali ke Boston, September 1957 tanpa saya mendapatkan janji apapun dari pihak universitas: pengangkatan saya sebagai dosen Sejarah dan Sastera serta mitra penelitian Pusat Penelitian Rusia selama satu tahun akademis hanya dialami selama Bulan Oktober." (hal.90).
Kedua, Profesor Pipes ada di sana ketika Pusat Penelitian Rusia membutuhkannya. Seperti diketahui luas dan terungkap dalam memoarnya sendiri, Profesor Pipes tidak bisa menikmati pekerjaan mengelola dan menata mesin akademis. Namun, dia lakukan, demi kepentingan komunitas kita. "Pada tahun 1968, saya memulai masa lima tahun saya sebagai Direktur Pusat Penelitian Rusia. Dalam kapasitas ini juga, saya tidak bisa melihat dengan jelas diri saya sendiri, meski saya memang melakukan sejumlah penggalangan dana dari Ford Foundation." (hal. 94).
Jadi, okelah, itu bukan aktivitas kesukaannya, tetapi itu momen sangat penting dalam sejarah pusat kajian ini. Dan jauh penting lagi, saya justru heran jika dia meremehkan sumbangannya terhadap lembaga ini. Pusat Penelitian Rusia bagaimanapun bukanlah tempat yang memerlukan upaya pembangunan lembaganya dari semua anggota komunitasnya. Pusat Kajian itu, yang kini menjadi Pusat David untuk Kajian Rusia dan Eurasia ada untuk membantu para anggota komunitas melakukan pekerjaan terbaik mereka.
Seperti dia lakukan sebelumnya, selama masa itu dan selanjutnya. Jadi, kami sangat bangga pernah menjadi bagian sejarah orang luar biasa ini. Tim B. Tetapi juga Tim RRC (Russian Research Center). Dan kini, bagi kami, Tim DCRS (Davis Center for Russian and Eurasian Studies).
Akhirnya, saya berada di Moskow dua hari lalu. Duduk di sebuah kafe, dengan kenangan tentang Profesor Pipes. Saya membuat catatan sembari mempersiapkan sambutan. Pramusaji Rusia yang belia mengantar teh, memperhatikan buku saya lalu bertanya: "Oh, anda sedang membaca buku Pipes." Saya katakan ya. Kemudian saya tanyakan umur dan latar belakang pendidikannya. Barangkali, saya pikir, dia sejarahwan yang sedang menanjak karirnya. Sang pramusaji memberitahu saya bahwa dia berumur 26 tahun. Dia sedang kuliah administrasi bisnis – dan bahwa dia tidak banyak membaca sejarah. Tetapi, dia tahu Profesor Pipes itu sejarahwan Amerika tentang Rusia yang kenamaan. Saya bayangkan, Profesor Pipes menghargai kisah ini.
Daniel Pipes
Anak
1. Era Polandia, 1923-39: Richard lahir tahun 1923, di sebuah kota perbatasan kecil. Namanya Cieszyn. Letaknya di ujung paling selatan Polandia, tepat berbatasan dengan Ceko. Ayahnya Marek, berusia 30 tahun kala itu. Dia pengusaha. Ibunya, Zosia, baru berumur 21 tahun. Richard menjadi satu-satunya anak.
Banyak foto yang masih bertahan dari masa kanak-kanaknya memperlihatkan adanya kehidupan modern yang masih bisa dikenali nyaris seperempat abad kemudian. Bekerja di sebuah kantor, kehidupan sosial yang mengagumkan, berpiknik dengan mobil ke daerah-daerah pedesaan, main ski serta naik perahu, bepergian keluar negeri untuk kerja atau untuk bersenang-senang.
Terasa lebih pedih melihat wajah-wajah penuh senyum dengan aktivitas yang menyenangkan masa itu. Khususnya setelah tahu, betapa, hanya beberapa tahun kemudian, kegembiraan ini berakhir tragis. Banyak dari orang-orang yang digambarkan penuh kegembiraan itu dibunuh dengan darah dingin.
Memang kehidupan keluarga Pipes yang menyenangkan mendadak berakhir, 1 September 1939 bersamaan dengan invasi Jerman atas Polandia. Tetapi berkat inisiatif Marek beserta jalinan hubungannya, mereka bertiga melarikan diri dari Polandia. Dengan menggunakan surat-surat palsu, mereka bepergian melewati Jerman dan berakhir di New York tepat pada ulang tahun Richard yang 17.
2. Pembentukan karir: Datang ke Amerika Serikat berarti menceburkan diri dalam sebuah budaya dan bahasa yang sangat berbeda. Ayah terbukti sangat cepat menguasai kedua-duanya.
Dia melayani negara barunya sebagai tentara, sebagai pakar intelijen dalam Angkatan Udara AS lalu mencemplungkan diri dalam dunia akademis. Kedua karirnya berkaitan karena angkatan bersenjata mengajarkannya Bahasa Rusia sehingga mendapatkan keuntungan dari pengetahuan budaya serta ketrampilan berbahasanya. Karir tersebut menempatkannya pada arah hidup yang menjadi bagan seluruh kehidupan profesionalnya. Belakangan, AU-AS mengirimkannya ke Universitas Cornell. Di sanalah, dia bertemu ibu saya, Irene Roth, tahun 1944.
Berhenti dari angkatan bersenjata tahun 1946, Richard lalu menikahi Irene. Kemudian, ia mengambil kuliah pascasarjana dan mendapat seorang anak yaitu saya pada tahun 1949, kemudian diikuti dengan anak kedua, Steven, pada tahun 1954.
Berkat keterlibatannya yang mendalam dalam kajian Rusia, dia menerbitkan artikel pertamanya tahun 1950 dan buku pertamanya, The Formation of the Soviet Union (Pembentukan Uni Soviet), tahun 1954. Dia meraih jabatan tetap sebagai professor sejarah di Universitas Harvard pada tahun 1957 dan menjadi professor penuh universitas tersebut pada tahun 1963.
3. Intelektual Publik, 1970-91: Fase ketiga, berawal pada tahun 1970, dengan dua dimensi. Satunya berdimensi cendekiawan, yang mewariskan kajian-kajian khusus seputar masa dua dekade sebelumnya serta dimulainya sebuah epos tiga bagian sejarah transformasi Tsar Rusia menjadi Uni Soviet.
Tiga jilid buku itu berisi chef d'oeuvre, kontribusi teragung paling abadi darinya untuk bidang kajian tersebut. Bersama artikel-artikelnya yang diterbitkan dalam media seperti, Commentary, mereka juga mencapai khalayak pembaca yang lebih luas, sehingga memberikan reputasi publik kepadanya.
Dimensi lain, bersifat politis. Tahun 1970 dia mendapat undangan dari Senator Henry Jackson. Dia diminta memberi kesaksian di hadapan Kongres. Kesaksian ini mengawali keterlibatannya dalam politik tingkat tinggi dalam relasi AS–Soviet termasuk mengembangkan keahliannya dalam pengendalian senjata sekaligus yang membuatnya mengetuai "terlaksananya kegiatan Tim B" supaya bisa menilai pemahaman CIA tentang ancaman Soviet.
Peran politiknya memuncak dengan dua tahun masa tugas dalam Dewan Keamanan Nasional di bawah kepemimpinan Presiden Ronald Reagen. Di sana dia membantu memperkuat naluri sang presiden untuk melihat Uni Sosialis Soviet Rusia (UUSR) bukan sebagai musuh abadi yang bercokol tetapi sebagai diktator rentan yang bisa dikuras tuntas yang menyebabkannya runtuh. Penerbitan National Security Decision Directive 75 (Pedoman Keputusan Dewan Keamanan Tahun 75) ketika ayah meninggalkan pemerintahan membuatnya pantas dikenang sekaligus mengabadikan pengaruh tersebut.
4. Cendekiawan Senior, 1992-2018: Tatkala Uni Soviet runtuh pada penghujung 1991, ayah, kala itu berusia 68 tahun. Kala itu, dia menyaksikan 50 tahun keterlibatannya dalam bidang tersebut yang memuncak pada usaha untuk mempertahankan pandangannya yang luar biasa bahwa UUSR tidak perlu dipertahankan, tetapi justru sebaliknya, harus dikalahkan.
Berakhirnya Uni Soviet memungkinkan dia untuk mengikuti minatnya dalam arah yang lain. Dia terus menulis sampai penerbitan buku terakhirnya muncul tahun 2015, atau 60 tahun setelah buku pertamanya. Artikelnya yang paling terakhir, "The Sad Fate of Birobidzhan" (Nasib Menyedihkan Birobidzan) terbit dalam New York Review of Books tahun 2016, benar-benar 66 tahun setelah artikel pertamanya terbit. Tepat sekali, kata-kata terakhir artikelnya itu adalah "the Communist regime's many failures" (banyaknya kegagalan Rejim Komunis)
Pada titik itu, pada usia 93, dia akhirnya pensiun. Ia lalu menuruti kesukaaan hatinya mengisi teka-teki silang. Memang dia masih bisa berpikir jernih, jika semakin pendek memorinya, sampai persisnya pada peralihan tahun 2018. Kala itu, tubuh yang kelelahan dan benaknya pelahan membuatnya kalah. Dia meninggal 17 Mei.
Pendengar, dan Daniel Pipes yang sedang menyampaikan pidatonya. |
Penghargaan
Saya ingin sekali menambahkan beberapa pengamatan terhadap tulisan ini.
Pertama, dalam sebuah kisah yang mengesankan dalam otobiografinya, Richard menulis tentang masa depannya ketika dia menyeberang Lautan Atlantik menuju Amerika Serikat, pada usia 16 tahun:
"Sama sekali saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Tetapi saya tahu pasti bahwa itu bukanlah soal mencari uang. Saya merasa Allah menyelamatkan saya dari neraka Polandia yang dikuasai Jerman untuk beberapa tujuan yang lebih mulia, suatu eksistensi yang jauh melebihi daripada sekedar mampu bertahan hidup serta upaya untuk memuaskan diri."
Tetapi, seperti terlihat di sini, hidupnya sangat serius, penuh tujuan, dicurahkan untuk panggilan yang lebih luhur.
Tetapi, kedua, hal yang serius ini tidak boleh disalahartikan dengan perasaan yang muram. Setelah menantang Hitler, dia merasa, punya "tugas untuk menjalani hidup yang penuh bahagia," Dan dia lakukan itu. Ayah saya mengisahkan humor dengan ketepatan rasa seorang pelawak. Dia penggemar film sekaligus ahli seni. Dia bepergian ke mana-mana dan hidup nyaman.
Ketiga, Richard benar-benar pria menikah, hidup nyaris persis seperempat dari masa hidupnya sebagai bujangan kemudian, tiga perempat masa hidupnya sebagai suami. Sehingga 72 tahun menikah memberinya perasasaan aman, stabilitas dan puas.
Empat, meski menghabiskan waktu 78 tahun di Amerika, dia tetap abadi sebagai orang Eropa. Dia memang menghargai kebebasan dan semangat individualis Amerika Serikat, namun, bagi dia, makanan, anggur, musik dan sahabat lebih baik yang ada di sana. Memang orangtua saya sama-sama menatap kritis terhadap negara yang mengangkat mereka. Hal itu menyebabkan saya suatu ketika, kira-kira pada usia 12 tahun, dengan tepat "menghukum" mereka dengan mengatakan: "Jika kalian tidak suka Amerika, mengapa kalian tidak kembali saja ke Eropa?"
Akhirnya, ayah saya itu seorang relijius dengan caranya sendiri. Dibesarkan dalam sebuah rumah Yahudi sekuler, perpaduan atas pengalaman atas penderitaan dan refleksinya yang mendalam membawanya kepada sebentuk Yudaisme yang kuat namun pribadi tanpa terjebak pada hal yang ritualistik. Untuk menjelaskan imannya, dia pun meminjam sebuah pemikiran kontradiktif karya cendekiawan Yudaisme dari Harvard yang kenamaan, Harry Austryn Wolfson. Dia, karena itu, menyebut diri "penganut Yahudi Ortodoks yang tidak menjalankan agamanya."
Jay Nordlinger dari National Review dengan penuh kehangatan mengenangkan apa artinya ini. Saya kutip:
Ketika tahun 1999 beralih menuju tahun 2000, [National Review] menerbitkan sebuah edisi milenial. Di dalamnya ada sebuah essay karya [Richard] Pipes. Dalam essay itu, dia mengutip buku Henri Frankfort, keluaran tahun 1948 bertajuk, Kingship and the Gods (Martabat Raja dan Para Dewa). Dia meminta huruf "g" dalam "god" (dewa) dituliskan dalam huruf kecil, misalnya dalam kasus yang lebih rendah. Saya tuliskan, karena itulah yang anda lakukan dengan kata benda dalam sebuah judul (tulisan) tidak peduli apapun. Tidak, kata Pipes. Huruf "g" harus ditulis dalam huruf kecil; "Saya orang Yahudi dan hanya ada satu Allah." Dengan senyum dan kekaguman, saya pun menyerah. Kami terbitkan judul buku Frankfort sebagai "Kingship and the gods" (Martabat raja dan para dewa) ---yang memang salah, tetapi pada saat bersamaan, benar.
Ayahku memberi judul otobiografinya Vixi. Dalam Bahasa Latin berarti, "Saya Sudah Hidup." Sekarang, saya katakan vixit, "Dia Sudah Hidup." Secara keseluruhannya, hidupnya sangat luar biasa. Ia menjalaninya secara penuh sehingga memperkaya orang-orang yang bertemu dengannya, sambil memberikan sumbangsihnya kepada dunia. Dan, secara sebagian, karena menolak mati, dia pun hidup berkat karya-karyanya sendiri.
Gerald Holton
Kolega
Selamat datang ke perayaan hidup Richard Pipes. Orang-orang lain yang berada di sini bakal memperbincangkan kecemerlangan intelektualnya sebagai seorang cendekiawan. Saya diminta mengomentari selama beberapa menit seputar persahabatan kami selama lebih dari 70 tahun.
Bagi beberapa kalangan di sini, persahabatan ini mungkin mengejutkan. Soalnya, Dick dan saya secara politik terbuka berada dalam kubu yang sangat berbeda. Dia orang beriman yang membantu Revolusi Reagen. Sementara saya menangani persoalan pengurangan ketegangan politik dan perjanjian pengendalian senjata
Tetapi, selama tahun-tahun ini, Dick dan saya tidak pernah mempermasalahkan perbedaan mendasar antarkami. Lebih dari itu, atas undangan Dick dan Irene, Nina dan saya pergi bermain ski bersama mereka, berenang bersama di Laut Karibia dan tentu saja bertemu di rumah-rumah kami. Memang Dick bergerak jauh sampai berupaya menghapus status saya sebagai orang tidak beriman. Ia pernah mengundang saya menghadiri Seder (upacara Agama Yahudi yang menandai dimulainya puasa menjelang Paskah, J.E.L.) keluarganya saaat Pesah (upacara memperingati keluarnya Bangsa Israel dari Mesir atau Paskah). Ini memang versi yang panjang.
Saya merasa yakin persahabatan kami diperkuat (secured) oleh unsur-unsur yang tidak umum. Seperti filsuf Romawi Cicero pernah katakan, "persahabatan, di tempat dia berada, merupakan pribadi yang kedua". Atau dalam kasus hidup kami, pengalaman hidup kami merekonstruksi kesamaan-kesamaan antarkami sampai pada tingkat yang mengagumkan --- walaupun sekali lagi, tidak pernah didiskusikan.
Coba lihat: Kami lahir tepat satu tahun berbeda. Kami sama-sama pengungsi akibat terror Nazi. Sama-sama kami sampai di Amerika sebagai remaja laki-laki pada tahun yang sama, setelah masing-masing kami benar-benar terpaksa menyaksikan Hitler merayakan kemenangannya saat kembali ke negaranya.
Dick bertemu jodohnya kemudian menikahi Irene pada tahun sama seperti yang saya lakukan dengan Nina. Sama-sama kami menghabiskan seluruh karir kami di Universitas Harvard. Di sanalah kami masing-masing menemukan inspirasi penting dari para cendekiawan kenamaan yang juga mantan imigran. Michael Karpovich bagi dia dan Philipp Frank bagi saya.
Kenyataannya, pada masa-masa itu, budaya di sini sebagian besar sudah sangat kosmopolitan. Suatu hari, ketika saya memesan sesuatu di sebuah toko untuk dikirim ke rumah, nyonya penjual mengatakan, "Baiklah, kau tinggal di Cambridge. Dan kau punya aksen aneh. Itu berarti kau professor di Harvard." Jadi, tidak ada tempat untuk sembunyi.
Di atas semuanya, di universitas ini ada sekitar 30 profesor yang datang sebagai cendekiawan terkenal yang imigran. Mulai dari Rudolph Arnheim, Konrad Bloch, Grete Bibring dan seterusnya dan seterusnya sampai Harry Wolfson. Juga ada beberapa puluh professor muda yang mendapat perlindungan di sini, yang kadang menyebut diri sebagai pengikut Stanley Hoffman.
Ringkasnya persahabatan Dick dan saya sendiri didasari oleh kenyataan bahwa kami sama-sama hidup dan bekerja dalam suasana yang menyenangkan. Dan di atas semua itu karena beberapa kesamaan kami sendiri yang menakjubkan --- yang bisa mencengangkan Cicero.
Jadi Dick terkasih, sekali lagi terimakasih atas persahabatan yang kaya. Dan selamat jalan.
Roman Szporluk
Colleague
Pertemuan pertama saya dengan Richard Pipes terjadi nyaris enam puluh tahun silam. Tahun 1959 atau 1960, setelah saya tiba di Inggris, dari Lublin, Polandia, September 1958---atas beasiswa British Council untuk belajar di Oxford.
Salah satu buku pertama yang saya baca di sana adalah The Formation of the Soviet Union: Communism and Nationalism 1917-1923 (Pembentukan Uni Soviet: Komunisme dan Nasionalisme 1917-1923) oleh Richard Pipes, terbitan tahun 1954 dan cetakan keduanya terbit tahun 1957. Tidak perlu dikatakan, sebelumnya saya tidak pernah dengar tentang pengarangnya. Tentu saja, tidak bayangkan saya bakal bertemu dengannya secara pribadi.
Tetapi tahun 1972-1973, saya menjadi peneliti tamu (visiting scholar) Pusat Penelitian Russia (Russian Research Center), tempat Dick Pipes menjadi direktutnya. Segera sesudah itu, saya pun menulis satu bab tentang Ukraina untuk buku yang dituliskan Kata Pengantar-nya oleh Pipes, Handbook of Major Soviet Nationalities (Buku Pegangan Negara-Negara Penting Soviet).
Hampir dua puluh tahun kemudian, saya malah menjadi koleganya di Jurusan Sejarah Harvard. Utang budi ini, menyebabkan saya senang bekerja bersama dia dalam berbagai komisi serta ujian mahasiswa, tanpa menyebutkan pertemuan-pertemuan kami saat rehat minum kopi di jurusan.
Segera setelah tiba di Harvard, istri dan saya mendapat kehormatan menghadiri sebuah peristiwa mengharukan---perayaan ulang tahun lima puluh tahun pernikahan Irene dan Dick Pipes. Ada dua kesempatan kami bertemu ---secara kebetulan--- di Warsawa. Satu kali dalam ruangan sarapan Hotel Europejski dan beberapa tahun belakangan, saat mencari-cari buku di Toko Buku "Prus" di Krakoswskie Przedmiescie.
Kembali kepada pertemuan intelektual pertama saya dengan Pipes. Saya terkesan dengan kisah yang diceritakan bukunya --- ada yang khas dalam bukunya. Yang menggugah rasa ingin tahu sekaligus mengesankan saya adalah telaahnya atas periode tahun 1917 sampai 1923 sebagai kisah interaksi antara para penerus Komunis Kekaisaran Rusia serta negara-negara bekas Kekaisaran ketika mereka berjuang menjadi Rusia Putih dan Rusia Merah yang merdeka.
Buku Pipes merupakan kisah menarik. Kesimpulannya, secara khusus, menggugah saya; "gambaran resmi murni Konstitusi Soviet. Secara historis, ia mungkin saja benar-benar terbukti sebagai salah satu aspek penting pembentukan Uni Soviet." Pada tahun 1960, sedikit yang bisa saya bayangkan, bahwa pengarangnya --- dan saya juga --- bakal hidup cukup panjang sehingga bisa menyaksikan negara-negara Soviet menjalankan hak-hak konstitusional mereka kemudian menjadi negara merdeka pada tahun 1991.
Dick menulis banyak buku---buku-buku penting, buku-buku kenamaan seputar Rusia dan Uni Soviet, sejarah budaya dan intelektual, kebijakan luar negeri, hubungan internasional dan bahasan-bahasan lainnya. Tetapi dia senantiasa ingat bahwa dia berurusan dengan hak-hak asasi manusia. Dia mempersembahkan buku The Russian Revolution (Revolusi Rusia) sebagai karya monumental yang terbitkan tahun 1990, zhertvam—"bagi para korban."
Dalam buku kenamaan karyanya yang lain, biografi Peter Struve, dia mengutip penjelasan Struve tentang Revolusi 1917. Menurut Struve, Revolusi 1917 merupakan "bunuh diri politik sebuah negara politis." Saya sepakat dengannya. Dia pernah meramalkan Komunisme Soviet jatuh. Dia menyebut negeri itu sebuah "khayalan utopia." Karena pernyataan ini, dia dikritik di Moskow. Tahun 1991, dia pun menyaksikan Uni Soviet bubar. Meskipun demikian, dia terus menulis tentang Rusia dan Sejarah Rusia serta politik masa kini selama dua puluh tahun sejak negara itu runtuh.
Pembubaran Uni Soviet yang banyak negara beserta runtuhnya komunisme tidak menyelesaikan persoalan warisan masa lampau. Misalnya konflik dengan Chechnya, Georgia dan Ukraina atau persoalan identias Russia seperti diperlihatkan oleh otokrasi Putin dan relasi Rusia dengan Barat dan dunia seluruhnya.
Dalam Pidato Pengukuhannya tentang Kajian Sejarah, Lord Acton pernah mengatakan: "Saya membenarkan titik berat yang saya tetapkan pada sejarah modern ... dengan argumen bahwa ia menjadi narasi yang diceritakan tentang kita sendiri, catatan kehidupan kita sendiri, tentang upaya yang belum bisa ditinggalkan supaya bisa istirahat, tentang masalah yang masih mengikat kaki sekaligus menyusahkan hati manusia .... Kajiannya sudah memenuhi tujuannya bahkan jika ia hanya membuat kita lebih bijaksana sekalipun... dan memberi kita pemikiran sejarah, yang lebih baik dari pembelajaran sejarah. "
Dan, dalam karya Pipes, kita memang menemukan pembelajaran historis dan pemikiran historis yang melahirkan kearifan historis. Sebulan yang lalu, saya bertanya kepada seorang pakar Inggris tentang sejarah Sastra Rusia, Gerald Smith, soal penilaiannya tentang karya Richard Pipes. Dia menjawab: "Konsisten. Dan benar."
Marvin Kalb
Mahasiswa
Ketika tiba di Cambridge, awal September 1951, saya bayangkan mungkin ada satu mahasiswa pascasarjana di sini, di Harvard yang kurang berpengalaman, yang terancam, yang merasa tidak aman dibanding saya, tetapi saya ragukan itu. Saat tamat dari City College, yang saya tempuh dengan sangat gemilang, saya masih tidak secara rinci tahu mengapa memasuki program pascasarjana pada Pusat Penelitian Rusia. Apakah itu langkah pertama menuju gelar Ph.D dalam bidang Sejarah Rusia, hidup sebagai Profesor Universitas Harvard? Atau, apakah saya benar-benar ingin menjadi wartawan, seperti kakak saya, seorang wartawan Harian The New York Times?
Saya berjalan-jalan dari satu kelas ke kelas lain, berbincang-bincang santai dengan satu professor ke professor lain. Meskipun demikian, saya tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, sampai pada suaatu hari saya kebetulan bertemu seorang professor muda (mungkin dia belum benar-benar menjadi professor, tetapi saya tidak yakin). Ia segera memahami dilema professional saya. Dia lalu mengusulkan cara untuk memadukan ilmu dengan jurnalisme. Namanya Richard Pipes. Dan belakangan dia menjadi satu dari cendekiawan negeri ini sekaligus dunia paling kenamaan tentang Sejarah Rusia.
Ia juga terkenal dalam bentuk lain---bijaksana sekaligus bisa membayangkan masa depan sehingga kemudian bisa menikahi Irene Roth yang mengagumkan selama 71 tahun. Dialah istri sekaligus kolega cendekiawan kenamaan ini. Tidak pernah dia kehilangan minatnya yang dalam tentang Polandia, tempat dia dan suaminya lahir.
Ijinkanlah saya kali ini membaca satu paragraph sebuah memoir yang saya tulis setahun silam, yang jenaka bertajuk, The Year I was Peter the Great (Tahun saya Bersama Petrus yang Agung).
Seorang guru dengan naluri dan prestasi akademis luar biasa," kata saya. "Pipes membuat proposal untuk satu orang satu mata kuliah (satu professor, satu mahasiswa) yang dicurahkan pada sebuah mata pelajaran yang tidak ditemukan dalam kurikum Harvard ---tidak bisa ditemukan karena kami menyusun mata kuliah sendiri, tidak pernah melihat atau diajarkan sebelumnya. Pipes menyarankan saya meneliti dan menulis artikel untuk Majalah New York Times seputar perkembangan terkini di Eropa Timur. Itu permainan serius yang membuat orang percaya: Saya jadi wartawan, dia jadi editorku. Saya sarankan satu tema, dan dia akan menyetujui atau tidak menyetujuinya. Kemudian, saya sepenuhnya sendiri. Bertemu Pipes sekali sepekan untuk mendiskusikan perkembangan belajar. Batas tenggatnya setiap akhir bulan. Empat bulan per semester, empat artikel. Nilai akhir saya bakal ditentukan oleh pertimbangannya atas artikel-artikel saya yang diterbitkan majalah tersebut.
Saya bahagia untuk mengatakan, keputusannya adalah nilai A.
Pipes, akan kita katakan, menyesuaikan berbagai aturan system yang biasanya memaksa orang untuk patuh berkompromi supaya bisa memuaskan kepentingan sekaligus kebutuhan saya sambil pada saat yang sama saya mempertahankan standar penelitian dan kecendekiawanan yang sangat tinggi. Saya senantiasa berutang budi padanya, bukan saja karena sikapnya yang fleksibel, tetapi untuk kebijakan dan kebaikannya dalam melihat secara menyeluruh kebutuhan mahasiswa.
Setahun atau dua tahun kemudian, Profesor Pipes kerapkali meminta saya mengikuti mata kuliah sejarah Rusianya, ketika dia pergi ke suatu tempat untuk memberi kuliah atau pergi ke Washington untuk mengajar presiden atau seorang senator. Jadi, tidaklah mengejutkan, ketika, pada pertengahan tahun 1970-an, Dick menerima telepon dari Direktur CIA masa itu, George H.W. Bush untuk memimpin apa yang disebut sebagai Tim B, sekelompok ahli yang diperintahkan untuk menilai kekuatan militer Rusia.
Dick tidak pernah romantis tentang Rusia. Dia terlampau banyak belajar, terlampau banyak menulis tentang Rusia, sehingga benar-benar tidak percaya kepada Rusia. Kajiannya berakhir dengan catatan suram. Rusia, yakinnya, tidak sepenuhnya mendukung upaya pengendalian senjata nuklir. Kenyataannya, negeri ini bahkan berisiko terlibat perang nuklir dengan Barat, kecuali jika dia dihadapi dengan kekuatan militer Amerika yang lebih unggul. Dan inilah pesan yang dia bawa ke Gedung Putih, ketika Presiden Reagen mengangkatnya sebagai pakar Rusia pribadinya di Dewan Keamanan Nasional (NSC).
Walaupun menjadi koresponden urusan diplomatic NBC ketika Dick bekerja di Gedung Putih, saya tidak pernah satu kalipun meneleponnya menanyakan informasi. Saya takut --- itu lebih sebagai semacam persahabatan. Saya tidak ingin menjebak atau menyudutkan Dick untuk mengatakan sesuatu yang mungkin belakangan dia sesali. Saya bisa --- dan lakukan--- mengamati dia dari jauh, dengan bangga. Dia professor saya, akan saya kenang. Kerapkali, reputasinya sebagai seorang garis keras membawanya kepada tulisan yang sangat tidak menyenangkan. Tapi, apakah selama berada di Gedung Putih atau sealama beberapa tahun belakangan ketika kembali di Universitas Harvard, dia tidak pernah mengubah sikap dasarnya terhadap Rusia? Berani saya katakan, dia sangat terkejut dengan pendekatan naïf Presiden Trump terhadap Presiden Putin dari Rusia.
Saya tidak senantiasa setuju dengan Dick, tetapi tidak pernah menantangnya. Apa yang dia lupakan, belum pernah saya pelajari. Dia raksasa (dalam bidangnya). Saya pikir, sebagai penutup kita masing-masing harus kembali, membaca dan membaca kembali karya-karyanya seputar Revolusi Rusia. Kita punya banyak persoalan kini dengan Rusia, yang dapat dihindari dan yang tidak dapat dihindari. Dan kita masih banyak belajar tentang negara itu. Dan Dick, setelah meninggal dunia sekalipun, punya banyak hal untuk diajarkan kepada kita.
Jonathan Daly
Mahasiswa
Selama lebih dari empat puluh tahun, Richard Pipes melatih banyak pengikut sejarahwan Rusia yang tengah menanjak karirnya. Nasihat yang konsisten dia berikan kepada kami. Kuasai berbagai bahasa yang dibutuhkan. Baca apa saja. Telaah secara mendalam berbagai sumber primer dan biarkan apa yang anda temukan di dalamnya membimbing penelitian anda. Usahakan untuk melakukan penelitian di Uni Soviet. Sebagian, upaya itu dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang sistem Soviet dan masyarakat Rusia serta budaya mereka, tetapi jangan membiarkan kekuasaan asing itu yang justru membentuk agenda penelitian anda.
Memang benar. Dia benar-benar menggunakan anak kalimat "kekuatan asing" --- bukan "lembaga akademis" atau "aparat sensor" --- tetapi "kekuatan asing" seolah-olah saya tengah mempersiapkan karir sebagai mata-mata. Saya pikir, amanlah untuk mengatakan bahwa tidak ada pembimbing Ph.D atau doktor di Amerika yang pernah berpikir untuk mengeluarkan peringatan seperti ini.
Dia juga berikan banyak nasihat tentang tulis-menulis. Selalu punya proyek penulisan. Berusahalah untuk menulis setiap hari. Ketik lalu file-kan pemikiran-pemikiran yang bagus untuk digunakan pada masa datang. Ketika merancang sebuah buku atau artikel, sisihkan semua catatan anda lalu menulislah berdasarkan ingatan anda. Seperti yang dia tuliskan kepada saya tahun 1996; jika mungkin, "jangan tergesa-gesa menulis buku. Sebaiknya ketika sudah agak tua, ia seperti anggur dan keju."
Devosi yang penuh untuk belajar kepada tradisi intlelektual Barat, kepada budaya yang tinggi menjadi cita-cita yang berkembang di Universitas Harvard dalam kalangan Eropa (Europeanists). Dan dalam pribadinya, Dick menjunjung tinggi cita-cita itu bagi kami. Tetapi pelatihan professional serta pekerjaan menjadi syarat yang perlu untuk bisa menikmati kehidupan benak dan pelatihan professional adalah apa yang Dick berikan kepada kami.
Dick menganjurkan tidak ada "metodologi". Dalam arti istilah ini diabaikan sekarang ini, karena dia agaknya melihat adanya kecongkakan sosial ilmiah. Sejarah, dia yakini, merupakan upaya manusiawi. Orang perlu berupaya memahami bahasa, budaya serta sejarah masyarakat melalui proses intelektual yang kreatif, sama sekali tidak seperti pekerjaan seorang seniman. Dan memang, baginya, di atas segala-galanya, sejarah merupakan seni, bukan ilmu. Konsep bisa dipinjam dari disiplin lain, tetapi persis seperti dari filsadat, seperti dari sosiologi dan dari Aristoteles, sebagaimana juga dari Weber.
Dick agaknya tidak yakin bahwa karya-karya Foucault dan pemikir radikal lain masa kini punya sesuatu yang bisa mengajarinya. Dia, nyatanya, seorang realis Aristotelian. Ini terlihat dari apa yang dituliskannya kepada saya tahun 1996 terkait dengan Aristoteles: "semakin banyak orang membaca Aristoteles, semakin banyak penghormatan orang peroleh bagi kejeniusannya." Tentu saja, realismenya jauh dari naïf. Upaya untuk menginterpretasi motivasi bisa saja sulit dilakukan, karena manusia itu mahluk rumit, tetapi mungkin ada wawasan filosofis yang membuat orang mampu melihat "di balik layar" dalam semua kasus, seperti yang Marxisme ajukan yang punya kekuatan struktural tersembunyi.
Di atas segala-galanya Dick memberikan contoh dedikasi kecendekiawanan yang luar biasa. Secara teliti dia melakukan perbaikan atas karya tulis, memusatkan perhatian penuh pada detil serta melakukan penelitian yang lengkap mendalam.
Ted Taranovski, seorang mahasiswanya pernah mengakui bahwa Dick "mengajarkan saya supaya menuntut pemikiran yang jelas dengan ungkapan yang tepat dalam diri saya sendiri serta pihak lainnya...Tanpa tedeng aling-aling dia memang menuntut supaya prosa itu bisa dibaca dan mendesak soal perlunya dokumentasi yang tepat atas klaim apapun. Entah orang sepakat dengan pemikirannya atau tidak, dia adalah suhunya para cendekiawan, scholar's scholar. Atau seperti Linda Gerstein ungkapkan, "Kerja, cermat, curahkan apa saja padanya."
Dick membimbing kami seperti pembimbingnya sendiri, Michael Karpovich lakukan atas dia. Caranya dengan menawarkan banyak waktu tambahan. Atau seperti yang belakangan dikenang oleh Eric Lohr, "dia tidak berusaha mencetak, membentuk atau mereplikasi, tetapi mendorong kami menemukan diri sendiri." Akibatnya, kami mahasiswa program doktor menulis lebih dari 60 disertasi tentang berbagai bahasan yang sangat luas. Sebelas dari kami memusatkan perhatian pertama-tama pada sejarah intelektual, sebelas mempelajari soal lembaga-lembaga dan sebelas lainnya menyelidiki persoalan politik. Empat mahasiswa membahas persoalan diplomasi, lima soal minoritas bangsa dan Rusia sebagai kekaisaran dan tujuh mahasiswa masing-masing membahas topik sosial dan budaya. Dick bahkan membimbing satu disertasi tentang militer Rusia dan satu disertasi soal sejarah ekonomi Kekaisaran Rusia. Kami juga melakukan pekerjaan yang bagus. Taranovski mengenang Dick, "dengan bangga memaklumkan bahwa disertasi para mahasiswanya itu sebegitu rupa sehingga relatif mudah diubah menjadi buku."
Di antara para mahasiswanya, Dick punya tiga belas mahasiswi. Tetapi tidak seorang pun mengaku diperlakukan secara berbeda dibandingkan dengan para mahasiswa laki-laki. Nyaris semuanya menganggap dia pembimbing luar biasa. Linda Gerstein bahkan mengatakan dia "feminis." Tidak saya bayangkan ada banyak pembimbing mahasiswa program doktor sejarah Rusia yang orang bisa katakan seperti ini. Dan tentu saja, dia berbicara sangat bagus tentang kami sendiri.
Richard Pipes seorang cendekiawan dan pribadi luarbiasa yang berdampak sangat besar dalam hidup saya. Dia Doktorvater, alias guru doctor saya, sekaligus figur ayah sejati. Fokusnya yang cerdas mengagumkan serta intens memang mengintimidasi. Dia juga sangat peduli, baik bahkan hangat dengan caranya sendiri. Puluhan kali dia menulis surat dan surat daring kepada saya sebelum saya berpikir untuk menulis biografinya. Dalam berbagai suratnya dia mengungkapkan kepeduliannya yang mendalam terhadap kesejahteraan dan keberhasilan saya.
Dari ratusan suratnya kepada mahasiswanya, saya menganggap Dick sangat peduli kepada kami semua. Ketika membaca kembali seluruh korespondensi saya dengan dia, saya lihat bahwa saya terus meminta surat rekomendasi dan bentuk dukungan lain dari dia. Dia pun, terus dan benar-benar bisa diandalkan memenuhi permintaan itu. Dia karena itu, mengingatkan saya pada ayah saya: tidak terlampau demonstratif tetapi benar-benar bisa diandalkan.
Pelatihan dalam bidang sejarah Rusia di Universitas Harvard di bawah arahan Dick, tidak diragukan lagi menjadi salah satu hal istimewa dalam hidup saya. Kepadanya saya haturkan terimakasih dan tentu saja menghargai peringatan yang diselenggarakan untuk mengenangnya.
Sarah Pipes
Cucu Perempuan
Saya habiskan waktu beberapa bulan merenungkan luar biasanya pengetahuan dan ketrampilan Opa Richard. Dalam beberapa bidang, dia diakui sebagai pakar global; tetapi dalam beberapa hal hanya kami di rumah yang tahu minat dan hobinya. Dia mengasah ketrampilannya untuk membuat sketsa, mengoleksi karya seni (khususnya seni ukir kayu Jepang), berkebun, bercerita dan memasak. Dia pakar pembuat saus spaghetti. Dalam banyak cara, dia laki-laki rumahan ala era Renaissance.
Dia juga terkenal dalam keluarga kami karena humornya yang mengagumkan. Humor kesukaan saya adalah ketika dia tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon-lelucon tentang anjing berbuluh lebat ketika berkisah kepada kami. Kala itu kami akan duduk di sekeliling meja menunggu puncak ceritanya. Itu hanya beberapa leluconnya yang tidak membumi. Kerapkali kami mengakhiri kisah-kisah lucu itu dengan makan malam, dengan Oma Irene yang mendorong dia mengisahkan beberapa humor kesukaannya (dan nyaris mengungkapkan lucunya humor itu selama berkisah!). Dia tahu pentingnya menemukan kegembiraan dalam hidupnya serta membagikannya bersama keluarga dan para sahabat.
Dia mencintai pekerjaannya, sedemikian rupa, sehingga kerapkali menjadi subyek pembicaraan di meja makan. Sebagai anak-anak, saya ingat, saya senantiasa bingung mengapa Richard sangat tidak senang dengan Lenin (baca: pemimpin besar Uni Soviet). Tentu saya hanya tahu tentang satu Lenin masa itu ---John Lennon! Semua orang, kecuali Richard tampaknya pikir "Lennon" itu orang terkenal, tetapi saya tahu, saya tidak heran bahwa Richard punya pendapat sendiri soal itu. Dia memberikan perhatian khusus, bahkan ketika persoalan itu benar-benar berada di luar pemikiran saya.
Baru-baru ini saya juga membaca kembali memoarnya, Vixi. Satu poin penting yang saya ambil dari sana adalah kehidupan di Washington D.C. tidak membuatnya gembira. Tanpa henti dia belajar dari sana, bekerja keras sehingga mendapatkan dampak yang luar biasa ketika berada di sana. Tetapi dia lega, karena kembali ke rumah, ke Universitas Harvard setelah itu. Pergi ke Washington D.C. benar-benar menjadi baktinya kepada negaranya. Sekaligus mendedikasikan dirinya supaya bisa mengarahkan secara benar kebijakan dan tindakan politik AS. Ini yang saya kagumi dari dia dan Irene---mereka benar-benar peduli dengan keadaan negara dan menjunjung tinggi standar yang saya pikir sudah hilang dari generasi saya.
Sudah mereka lihat apa yang kita sebagai bangsa mampu. Bukannya mencemooh kegagalan-kegagalannya, mereka justru terlibat untuk memperbaikinya.
Satu aspek hidup yang menarik di Washington D.C adalah hubungan Richard dengan Ronald Reagen. Dia mengagumi Reagen karena pedoman moralnya yang kuat yang membimbing langkahnya secara benar, bahkan ketika dia tidak memiliki pengetahuan mendalam yang perlu. Masuk akal bahwa Richard mengakui dan menghargai aspek ini dari Reagen, karena mereka punya kesadaran yang kokoh tentang yang benar dan yang salah. Dia tidak takut membiarkan orang-orang lain tahu ketika dia yakin mereka itu salah, dengan mengandalkan perpaduan antara moral dan pengetahuannya yang mendalam tidak tergoyahkan untuk mengarahkannya.
Richard punya pendekatan realistis terhadap waktu kita di bumi. Ini membuatnya mampu melihat melewati batasan-batasan. Mungkin saja itu disebabkan oleh pengalamannya lolos dari maut pada masa kanak-kanaknya, sehingga dia pun menghabiskan seluruh hidupnya mempelajari kekejaman yang mengerikan atas kehidupan manusia. Dia memanfaatkan perspektif untuk membentuk kehidupannya sendiri yang berani dan benar. Dia sangat yakin dan tidak takut ditolak. Bukan karena egonya yang berlebih, tetapi karena dia punya pandangan yang lebih luas. Dia sangat bangga dengan prestasinya, tetapi pada saat yang sama tetap rendah hati. Dia tahu diri sehingga menjalani hidup yang benar-benar sejati sesuai dengan dirinya, mengubah penderitaan menjadi kekuatan. Inilah kwalitas pribadi yang saya, dan saya pikir sebagian dari kita, hanya bisa dambakan. Dia menulis bahwa dia melihat kematian sebagai mukjijat agung, sama seperti kelahiran. Dan, saya berusaha mengenang ini ketika saya sendiri sedih atas kematiannya.
Para pembicara lain telah membahas warisannya dalam dunia yang lebih luas. Saya ingin membahas warisannya dalam keluarga kami. Ketika menatap saudari saya dan saya sendiri, saya justru melihat dia, Richard Pipes dalam kuatnya etika kerja kami, penghargaan kami terhadap hidup bahagia yang bagus. Dia mendorong minat Anna dalam melukis dan ilustrasi dan akan senang sekali dengan minat Elizabeth dalam banyak bidang ketika dia mulai kuliah, termasuk dalam bidang kajian internasional. Saya mengambil matakuliah sejarah sebagai matakuliah pokok dan meskipun tidak bergabung dalam "bisnis keluarga,", perspektif pelatihan ini menginformasikan karya saya dalam data pribadi dan keamanan.
Richard punya moto, "segala sesuatu itu ugahari, termasuk ugahari itu sendiri." Moto itu menjadi pedoman ketika kita menyeimbangkan antara pekerjaan, keluarga, teman serta kepentingan-kepentingan lainnya. Yang terpenting dia meninggalkan hadiah penuh inspirasi bagi kita: untuk memahami hidup yang kita maknai supaya dia membimbing kita dan secara bertahap tetap setia padanya. Harapan saya, generasi kami bisa menghadirkan dia dengan baik.
Anna Pipes
Cucu Perempuan
Saya pikirkan kakek saya sebagai boneka matryoska, atau boneka kayu Rusia yang terdiri dari tiga tumpukan boneka dengan ukuran yang semakin mengecil satu sesudah yang lain. Sebagai anak-anak, saya pertama kali tahu boneka terkecil yang sangat tersembunyi di dasarnya --- sisi yang sedikit diketahui orang. Ketika bertumbuh remaja, saya tahu lapisan tengah, lapisan Keluarga Richard Pipes yang dikenal dan dicintai oleh sahabat dan kolega. Saat dewasa, saya mulai memahami boneka terbesar, yang berada paling luar yang menatap keluar kepada dunia.
Boneka kecil di bagian tengah tumpukan itu sensitif dan imajinatif, seorang seniman yang menikmati hidup yang tidak pernah melupakan kekaguman masa kanak-kanaknya. Milik kami adalah kakek yang menampilkan sulapnya yang lembut dengan dosis wajar. Dengan penuh semangat saya mengenangkan rutinitas kami setelah makan malam. Setelah kami para cucu membersihkan meja makan, dia memberikan kepada kami masing-masing seperempat potong coklat, yang bakal kami makan. Kemudian, dengan mengenakan piyama, kami menemui di kamarnya untuk mendengar cerita-ceritanya. Sembari bersandar di punggung kami, dengan lengan bertelekan di bawah kepala kami para cucunya, dia mulai membongkar dongengnya. Dia mampu menciptakan hal-hal menakjubkan di tempat itu juga. Kerapkali dikisahkannya kisah tentang bagaimana dia dan Irene bertemu---sebuah kencan buta rangkap dua di Universitas Cornel, di mana dua-duanya ingat dengan beberapa syarat, tetapi berkembang menjadi persahabatan, kemudian romansa dan perkawinan yang penuh kegembiraan --- sebuah dongeng yang tidak umum.
Sebagai orang dewasa, dia mencintai karya seni. Pernah dia berpikir untuk berkarir dalam bidang musik, melukis dan sejarah seni tetapi akhirnya memilih menyalurkan kreativitasnya dalam penulisan sejarah. Dalam memoarnya Vixi, dia berkomentar. "Kesulitan menjadi seorang sejarahwan terletak dalam kenyataan bahwa ia menuntut adanya dua kwalitas yang tiak cocok satu sama lain; kwalitas sebagai penyair dan kwalitas sebagai teknisi laboratorium---yang pertama membuatmu melambung tinggi dan yang lain justru menghambatmu." Tetapi ketika mengisahkan kisah-kisahnya, dia membumbung tinggi.
Ketika kami remaja, kisah-kisah itu pun semakin berkurang. Kami pun tahu boneka matyoshka lainnya. Richard ini agak lebih penuh dengan syarat-syarat, tetapi sangat suka humor. Sembari tersenyum, dengan mata birunya yang bergelinang air mata, dia menyambut kami dengan pelukan dan ciuman di depan pintu kemudian kembali mundur ke ruang belajarnya. Dia orang yang rutin (bekerja), duduk terus sampai makan siang dengan sandwich dan segelas bir yang direguknya sambil bersenandung. Kapanpun dia berbicara, maka itu untuk mengatakan sesuatu yang penting, entah komentar seputar politik negara atau lelucon yang dikisahkan secara menakjubkan.
Tentu saja, ketika dewasa saya sadari kakek adalah sejarahwan yang sangat dihormati, tetapi sebelumnya, saya sudah mulai memahami siapa dia di dunia. Boneka matryoshka terluar, paling luar yang menatap itu teguh, berkemauan keras dan tanpa takut. Seorang Pejuang Perang Dingin yang bangga.
Bagaimanapun, dia bisa apa saja kecuali menjadi orang kasar. Dia berjuang dengan kepekaan yang luarbiasa seiring dengan kesadaran moralnya yang jelas. Keberhasilannya lolos dari Holocaust dan kemampuannya melepaskan keluarga dari pembunuhan di tangan Nazi, tidak mengguncangkan keyakinannya bahwa hidup memang layak dijalani. Sebaliknya, ia menegaskan kebutuhannya untuk melindunginya. Dia memanfaatkan kecerdasannya untuk, dalam kata-katanya, "menyebarkan pesan moral dengan menunjukkan —dengan menggunakan contoh dari sejarah — bagaimana ide jahat berdampak mengerikan."
Beberapa tahun silam, saya punya ide untuk mewawancarai dia agar bisa memahami lebih baik mengapa tiga boneka itu bisa sama-sama cocok. Sayangnya, saya tidak mengantisipasi betapa sedikitnya waktu yang saya sisihkan untuk wawancara sebelum dia meninggal dunia. Kebenaran yang perlu diberitahukan, adalah, saya benar-benar tidak percaya bahwa dia meninggal dunia. Soalnya, dia begitu kuat dan stabil, sehingga tampaknya tidak mungkin meninggal dunia. Sangatlah pas bahwa buku Jonathan Daly seputar surat-menyuratnya dengan Marc Raeff disebut Pillars of Profession (Pilar-Pilar Profesi). Tatkala berbincang-bincang dengan para sahabat, saya hanya gunakan kata ini, ---pilar--- untuk menjelaskan tentang kakek saya. Dialah pilar profesi, tetapi juga hidup saya dan keluarga saya.
Ketika negara ini serta negara-negara Eropa ini menerima ideologi jahat dan berbahaya, maka lebih memalukan lagi karena kita pun kehilangan pilar seperti dia, yang membela akal budi, kesusilaan, dan moralitas. Tetapi meski dia sudah pergi kita bisa mengikuti teladannya. Dengan mengenangnya, kita bisa saja tetap kuat dan berpegang teguh pada keyakinan kita, bahkan jika mereka sulit didapatkan. Kita dapat menggunakan kecerdasan kita, atau talenta apa pun yang kita miliki, untuk berjuang demi kebaikan, seperti yang dia lakukan.
Mengenal dia memang merupakan sebuah berkat.
Topik Terkait: Hal yang berkaitan dengan biografi Daniel Pipes
Artikel Terkait:
- Do I Not Criticize Israeli Policies?
- Blaming Me for Not Getting Tenure in Middle East Studies
- Praising Military Slavery
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL. |